Senin, 02 Juli 2012

Catatan Dari Akhir Perhelatan Piala Eropa

Catatan Dari Akhir Perhelatan Piala Eropa


Baru saja kita menyaksikan betapa serunya perhelatan final Piala Eropa. Spanyol akhirnya tampil sebagai juara. Ini berarti negara matador ini berhasilkan menyadingkan gelar bertahan piala Eropa dengan gelar piala dunia yang mereka raih di Afrika Selatan tahun 2010 lalu.
Seiring dengan berlalunya turnamen bergengsi ini, ada beberapa hal menarik dari ajang bergengsi ini yang menarik perhatian saya. Saya akan mengawalinya dengan krisis Eropa yang turut membayangi turnamen kali ini. Lolosnya Spanyol ke final disebut-sebut sebagai hiburan bagi rakyat negara itu di tengah-tengah krisis yang sedang melanda. Sedangkan kemenangan Italia atas Jerman di laga semi final juga dilihat sebagai bukti bahwa Italia tangguh di lapangan hijau meski selama krisis berlangsung, Jermanlah yang menjadi pahlawan penyelamat, dengan program penghematan yang menuai pro dan kontra.
Lebih jauh lagi, menjelang laga babak 8 besar, Yunani mencatatakan sejarah dengan meloloskan diri ke babak perempat final. Hal ini melengkapi kemenangan bersejarah yang dicatat partai pro Eropa “Nea Democratia” (partai demokrasi baru) dalam pemilu yang digelar tanggal 17 Juni lalu, yang disusul dengan pembentukan pemerintahan 3 hari kemudian. Kedua peristiwa ini pastinya memberikan oksigen baru bagi Yunani untuk tetap berada di zona Euro.
Sayangnya tidak semua peristiwa yang terjadi selama penyelenggaraan piala Eropa ini menyenangkan. Sejak awal perhelatan akbar ini sudah dibayangi isu rasisme. Isu ini berawal dari penayangan program panorama BBC yang berjudul “Stadium of Hate” yang menggambarkan ulah supporter di Polandia dan Ukraina yang kerap menunjukan perilaku rasisme. Semula, saya berpikir kalau tayangan ini akan dijadikan sebagai pelajaran dan berharap agar insiden yang berbau rasisme tidak terjadi. Apalagi pada awal setiap pertandingan, tidak hanya bendera kedua negara yang berkibar, tetapi juga bendera yang bertuliskan “respect” yang berarti “menghormati” juga dibentangkan, sebagai bentuk himbauan. Saya juga berharap, bahwa himbauan ini akan menyadarkan para penonton betapa pentingnya menghormati ini.
Ternyata apa yang saya pikirkan tidak sepenuhnya terjadi. Kejutan pertama adalah, suporter Ukraina dan suporter Polandia membuktikan bahwa mereka mampu menjadi tuan rumah yang sportif dengan tidak mengumbar sikap rasisme. Setidaknya sikap ini diperlihatkan pada saat pertandingan. Disayangkan sikap ini tidak ditunjukan suporter Polandia dalam sesi latihan tim Belanda di kota Krakow. Mereka mengejek dan menirukan suara monyet yang ditujukkan kepada pemain Belanda berkulit hitam. Kejutan kedua, selama pertandingan berlangsung, insiden berbau rasisme dengan modus yang sama menimpa pemain Italia, Mario Balotelli justru menerima ejekan rasisme dari suporter Spanyol dan Kroasia. Sementara Gebre Selassie, pemain tim republik Ceko mendapatkan ejekan dari suporter tim Russia.
Tidak hanya itu, ulah bernada rasime juga ditunjukan suporter tim Jerman yang membentangkan spanduk neo Nazi pada saat Jerman bermain melawan Denmark. Suporter Kroasia pun tidak mau ketinggalan, mereka membentangkan spanduk berbau rasime pada laga melawan Spanyol. Kejadian terakhir yang terbilang “unik” dan sangat disayangkan adalah perilaku sejumlah suporter Spanyol yang mencemooh ketika lagu kebangsaan Italia dikumandangkan.
Tentu saja insiden yang digambarkan di atas tidak termasuk ulah suporter lainnya, yang juga dijumpai pada turnamen sepak bola lainnya.
Sepak bola dan suporter adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Suatu pertandingan sepak bola tidak akan seru tanpa teriakan semangat dari suporter tim masing-masing. Tetapi dalam suatu pertandingan, perbuatan segelintir orang tentulah tidak elok dipandang, dari sisi kemanusiaan. Dalam turnamen kali ini misalnya, saya mendapatkan kesan bahwa tayangan BBC tidak dijadikan pelajaran, tetapi malah dijadikan contoh bagi para suporter rasis bahwa Polandia dan Ukraina merupakan “surga” bagi rasisme. Hingga mereka memilih momen ini sebagai kesempatan untuk mengekspresikan diri, mengigat rasisme dan diskriminasi yang didasari agama dan ras adalah perbuatan yang dilarang, karena rasisme merupakan perbuatan yang didasari kebencian dan dapat menyebarkan kebencian.
Dalam kaitannya dengan sepak bola, sulit memang untuk memberlakukan semacam filter untuk mencegah tejadinya aksi rasisme ini. Ditambah lagi suporter sepak bola dikenal dengan sifat fanatismenya yang tinggi, sehingga intervensi polisi pada saat pertandingan, dikhawatirkan akan berujung fatal. Denda dan sanksi yang diterapkan UEFA memang salah satu cara untuk meredam insiden seperti ini, sekaligus sebagai teguran kepada asosiasi sepak bola nasional negara yang bersangkutan. Namun sanksi ini tidak akan memberikan efek jera bagi suporter yang bermasalah ini. Untuk itu diperlukan sanksi yang jauh lebih tegas lagi. Misalnya ketika pendukung suatu tim sudah jelas-jelas memperlihatkan sikap yang tidak simpatik, polisi bisa saja menggelandang mereka setelah pertandingan dan mengenakan sanksi kepada individu pembuat keonaran. Selanjutnya polisi negara penyelenggara dapat berkoordinasi dengan asosiasi sepak bola nasional negara yang suporternya terbukti bermasalah dan UEFA untuk membuat daftar hitam kepada para pendukung yang sering membuat keonaran. Sehingga dengan cara ini, diharapkan jumlah insiden dapat diturunkan.
Insiden yang kita lihat selama penyelenggaraan piala Eropa ini juga memperlihatkan betapa rasisme ada sesuatu yang nyata dan sulit diberantas. Rasisme sendiri tidak hanya terjadi pada pertandingan bola tetapi juga pada kehidupan sehari-hari, walaupun intensitasnya tidak terlalu tinggi. Saya mencoba untuk menggali mengapa ada rasisme. Setelah melalui berbagai penelusuran, saya berkesimpulan bahwa rasisme terjadi dikarenakan adanya pola pikir yang sudah mengakar. Jika sudah mengakar dan selama ada segelintir orang yang menganggap rasisme sebagai sesuatu yang dibenarkan, akan sangat sulit untuk memberantas rasisme itu sendiri. Usaha maksimal yang dapat ditempuh adalah mempersempit ruang gerak rasisme, karena walau bagaimanapun rasisme ini juga merupakan bentuk intoleransi.  Cara konkret lainnya adalah dengan memperbaiki sistim pendidikan di Eropa. Saya mendapatkan kesan bahwa pelajaran moral untuk menghargai sesama dan menerima segala bentuk perbedaan tidak diajarkan atau tidak dititikberatkan. Dengan kata lain, pola pikir yang membenarkan adanya rasisme juga dapat dirubah, dan pola pikir generasi mudah diarahkan ke arah yang lebih positif melalui sistem pendidikan.
Akhir kata, kita pastinya berharap bahwa apa yang kita lihat pada ajang perhelatan piala Eropa ini dapat dijadikan cerminan, baik dalam kapasitas sebagai pecinta sepak bola, maupun dalam kapasitas sebagai warga dunia dan sebagai umat manusia. Mudah-mudahan insiden yang berbau rasisme tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar